EPISTEMOLOGI
EPISTEMOLOGI
A.
Pengertian
Epistemologi.
Istilah Epistemologi secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “Episteme”
dengan arti pengetahuan dan kata “Logos”
berarti teori, uraian atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori
tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. (Surajiyo,
2008:53).
Pengertian Epistemologi secara
terminologi menurut beberapa pendapat, yaitu :
1. Epistemologi
menurut Sidi Gazalba, epistemologi adalah apa yang diketahui atau hasil
pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu adalah hasil dari kenal, sadar, insyaf, mengerti
dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan
demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. (Bakhtiar,
2010:85)
2. Dalam
kamus filsafat, epistemologi adalah proses kehidupan yang diketahui manusia
secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui
(subjek) memiliki yang diketahui (objek) didalam dirinya sendiri sedemikian
aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri
dalam kesatuan aktif. (Bakhtiar, 2010: 85-86)
Epistemologi atau Teori Pengetahuan adalah
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. (Bakhtiar, 2010:148).
Mula-mula manusia percaya bahwa dengan
kekuatan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya. Para
filosof pra Sokrates, yaitu filosof pertama di dalam tradisi Barat, tidak
memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan
perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan perubahannya, sehingga mereka
kerap dijuluki filosof alam.
Mereka mengandaikan begitu saja bahwa
pengetahuan mengenai kodrat itu mungkin, mesekipun beberapa diantara mereka
menyarankan bahwa pengetahuan mengenai struktur kenyataan dapat lebih
dimunculkan dari sumber-sumber tertentu ketimbang sumber-sumber lainnya.
Herakleitus misalnya, menekankan penggunaan indera, sementara Permanides
menekankan penggunaan akal. Meskipun demikian, rak seorang pun diantara mereka
yang meragukan kemungkinan adanya pengetahuan mengenai kenyataan (realitas).
Baru pada abad ke 5 SM, muncul
keraguan terhadap adanya kemungkinan itu, mereka yang meragukan akan kemampuan
manusia mengetahui realitas adalah kaum Sophis. Para Sophis bertanya, seberapa
jauh pengetahuan kita mengenai kodrat benar-benar merupakan kenyataan objektif,
seberapa jauh pula merupakan sumbangan subjektif manusia? Apakah kita mempunyai
pengetahuan mengenai kodrat sebagaimana adanya? Sikap skeptis inilah yang
mengawali munculnya epistemologi. (Bakhtiar, 2010:149)
Pengetahuan yang diperoleh manusia
melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori
pengetahuan, diantaranya adalah :
1. Metode
Induktif.
Induksi yaitu suatu metode yang
menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu
pernyataan yang lebih umum. Dan menurut suatu pandangan yang luas diterima,
ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut
induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran
mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada
pernyataan-pernyataan universal.
Dalam induksi, setelah diperoleh
pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita
bahwa kalau logam dipanasi, ia akan mengembang, bertolak dari teori ini kita
akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari
contoh diatas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu
pengetahuan yang disebut juga dengan pengetahuan sintetik.
2. Metode
Deduktif.
Deduksi adalah suatu metode yang
menyimpulkan bahwa data-data empirik di olah lebih lanjut dalam suatu sistem
pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah
adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.
Popper tidak pernah menganggap bahwa
kita dapat membuktikan kebenaran-kebenaran teori dari kebenaran
pernyataan-pernyataan yang bersifat tunggal. Tidak pernah ia menganggap bahwa
berkat kesimpulan-kesimpulan yang telah diverifikasikan, teori-teori dapat
dikukuhkan sebagai benar atau bahkan hanya mungkin benar. Contoh jika penawaran
besar, harga akan turun. Karena penawaran beras besar, maka harga beras akan
turun.
3. Metode
Positivisme.
Metode ini dikeluarkan oleh August
Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang
faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan diluar yang
ada sebagai fakta. Oleh karena itu ia menolak metafisika. Apa yang diketahui
secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian
metode ini dalam bidang filsafat ilmu dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada
bidang gejala-gejala saja.
4. Metode
Kontemplatif.
Metode ini mengatakan adanya
keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga
objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu
kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat
intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan
oleh Al-Ghazali.
Intuisi dalam tasawuf disebut dengan
ma’rifah yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan
penyinaran. Al-Ghazali menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang
disinarkan oleh Allah secara langsung merupakan pengetahuan yang paling benar.
Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat individual dan
tidak bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang
dewasa ini bisa dikomersilkan.
5. Metode
Dialektis.
Dalam filsafat, dialektika mula-mula
berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini
diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini
dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan
metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk
mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
Dalam kehidupan sehari-hari,
dialektika berarti kecakapan untuk melakukan perdebatan. Dalam teori
pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu
pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang
dua kutub. (Bakhtiar, 2010:152-156).
B.
Jenis-Jenis
Pengetahuan.
Beranjak dari
pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka didalam
kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran.
Burhanuddin Salam mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada
empat, yaitu :
1. Pengetahuan
Biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering dikatakan good sense, karena seseorang memiliki
sesuatu dimana ia menerima secara baik. Semua orang menyebutnya sesuatu itu
merah karena memang itu merah, benda itu panas karena memang dirasakan panas
dan sebagainya.
2. Pengetahuan
Ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science.
Dalam pengertian yang sempit science
diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif
dan objektif. Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan
mensistematiskan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman
dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun dilanjutkan dengan suatu
pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
3. Pengetahuan
Filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat
kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada
universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu
bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas
dan mendalam.
4. Pengetahuan
Agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusanNya,
pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.
Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu ajaran tentang cara
berhubungan dengan Tuhan, yang sering disebut dengan hubungan vertical dan cara
berhubungan dengan sesama manusia, yang sering disebut dengan hubungan
horizontal. (Bakhtiar, 2010:86-88)
Jenis-jenis pengetahuan juga dapat dilihat
pada pendapat Plato dan Aristoteles. Plato membagi pengetahuan menurut
tingkatan pengetahuan sesuai dengan karakteristik objeknya. Pembagiannya adalah
sebagai berikut :
1. Pengetahuan
Eikasia (Khalayan).
Tingkatan yang paling
rendah disebut Pengetahuan Eikasia, yaitu pengetahuan yang objeknya berupa
bayangan atau gambaran. Pengetahuan ini isinya adalah hal-hal yang berhubungan
dengan kesenangan atau kesukaan serta kenikmatan manusia yang berpengalaman.
2. Pengetahuan
Pistis (Substansial).
Satu tingkat diatas
Eikasia adalah tingkatan Pistis atau Pengetahuan Pistis atau Pengetahuan
Substansial. Pengetahuan ini adalah pengetahuan mengenai hal-hal yang tampak
dalam dunia kenyataan atau hal-hal yang dapat di indrai secara langsung.
3. Pengetahuan
Dianoya (Matematika).
Plato menerangkan
tingkat pengetahuan ini adalah tingkaran ketiga yang ada didalamnya, sesuatu
yang tidak hanya terletak pada fakta atau objek yang tampak, tetapi juga
terletak pada bagaimana cara berpikirnya. Dengan demikian dapat dituturkan
bahwa bentuk pengetahuan tingkat Dianoya ini adalah pengetahuan yang banyak
berhubungan dengan masalah matematik atau kuantitas, seperti luas, isi, jumlah,
berat yang semata-mata merupakan kesimpulan dari hipotesis yang di olah oleh
akal pikiran karenanya pengetahuan ini disebut juga pengetahuan pikir.
4. Pengetahuan
Noesis (Filsafat).
Pengetahuan Noesis
adalah pengetahuan tingkatan tertinggi, pengetahuan yang objeknya adalah arche,
yaitu prinsip utama yang mencakup Epistemologik dan Metafisik. Prinsip utama
ini disebut “IDE”. Plato menerangkan tentang pengetahuan ini adalah hampir sama
dengan pengetahuan pikir.
Tujuannya adalah untuk mencapai
prinsip utama yang isinya hal yang berupa kebaikan, kebenaran dan keadilan.
Menurut Plato, cara berpikir untuk mencapai tingkat tertinggi dari pengetahuan
itu adalah dengan menggunakan metode dialog sehingga dapat dicapai pengetahuan
yang sungguh-sungguh sempurna yang biasa disebut Episteme. (edinasirun76.blogspot.com,
14/10/2013:11.21)
Jenis
pengetahuan menurut Aristoteles yaitu :
1. Pengetahuan
Produksi (seni).
2. Pegetahuan
Praktis (etika, ekonomi, politik).
3. Pengetahuan
Teoritis (fisika, matematika dan metafisika).
C.
Dasar-Dasar
Pengetahuan.
Dasar-dasar pengetahuan terbagi
menjadi 8, yaitu pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu,
pikiran dan penalaran, logika, bahasa, serta kebutuhan hidup manusia. Untuk
lebih jelasnya dapat dijelaskan sebagai berikut : (Sudarminta, 2002:32)
1. Pengalaman.
Semua bentuk
penyelidikan kearah pengetahuan dimulai dengan pengalaman. Maka, hal pertama
dan utama yang mendasari dan memungkinkan adanya pengetahuan adalah pengalaman.
Pengalaman adalah keseluruhan peristiwa perjumpaan dan apa yang terjadi pada
manusia dalam interaksinya dengan alam, diri sendiri, lingkungan sosial
sekitarnya dan dengan seluruh kenyataan, termasuk yang Ilahi. Ada dua macam
pengalaman, yakni pengalaman primer dan pengalaman sekunder.
Pengalaman primer
adalah pengalaman langsung akan persentuhan inderawi dengan benda-benda konkret
di luar manusia dan akan peristiwa yang disaksikan sendiri. Misalnya dengan
mata saya dapat melihat layar computer di hadapan saya, meja tempat buku dan
tempat keyboard. Dengan telinga, saya dapat mendengar suara AC model kuno yang
ada di kamar kantor saya. Dengan indera peraba, saya dapat merasakan sentuhan
jari-jari saya atas tuts-tuts huruf dia atas keyboard computer saya.
Pengalaman sekunder
adalah pengalaman tak langsung atau pengalaman reflektif mengenai pengalaman
primer. Saya sadar akan apa yang saya lihat dengan mata saya, apa yang saya
dengar dengan telinga saya, dan apa yang saya rasakan dengan indera peraba
saya. Saya sadar akan adanya kenyataan lain di luar saya yang merangsang organ-organ
dalam tubuh saya dan saya juga sadar akan kesadaran saya.
Paling kurang dapat
dibedakan adanya tiga ciri pokok pengalaman manusia, yaitu :
a. Pengalaman
manusia itu amat beraneka ragam.
b. Pengalaman
manusia selalu berkaitan dengan objek tertentu di luar diri kita sebagai
subjek.
c. Pengalaman
manusia terus bertambah dan tumbuh seiring bertambahnya mur, kesempatan dan
tingkat kedewasaan manusia.
2. Ingatan.
Selain pengalaman
inderawi dan nirindrawi, pengetahuan juga didasarkan atas ingatan. Dalam
kedudukannya sebagai dasar pengetahuan, baik pengalaman indrawi maupun ingatan
saling mengandaikan. Tanpa ingatan, pengalaman inderawi tidak akan dapat
berkembang menjadi pengetahuan. Dilain pihak, ingatan mengandaikan pengalaman
inderawi sebagai sumber dan dasar rujukannya. Kita hanya dapat mengingat apa
yang sebelumnya pernah kita alami secara inderawi, entah secara langsung atau
tidak langsung. Kendati ingatan sering kali dapat menjadi kabur dan tidak tepat
atau dengan kata lain dapat keliru, namun dalam kehidupan sehari-hari, baik
secara teoritis maupun praktis, pengetahuan kira dasarkan atas ingatan.
Agar supaya ingatan
dapat menjadi dasar yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya bagi
pengetahuan, sekurang-kurangnya dua syarat berikut perlu dipenuhi, yakni :
a. Saya
memiliki kesaksian bahwa peristiwa yang saya ingat itu sungguh pernah saya
alami atau saya saksikan di masa lalu.
b. Ingatan
tersebut bersifat konsisten dan dapat berhasil menjadi dasar pemecahan
persoalan yang sekarang saya hadapi berkaitan dengannya.
Misalnya,
karena saya masih ingat bagaimana pergi dari Jakarta ke Bogor dengan naik
kereta api, walaupun sudah sepuluh tahun yang lalu saya meninggalkan Jakarta,
sekarang saya dapat berhasil melakukannya lagi.
3. Kesaksian.
Dengan “kesaksian”
disini dimaksudkan penegasan sesuatu sebagai benar oleh seorang saksi kejadian
atau peristiwa, dan diajukan kepada orang lain untuk dipercaya. Disini
“percaya” dimaksudkan sebagai menerima sesuatu sebagai benar berdasarkan
keyakinan akan kewenangan atau jaminan otoritas orang yang memberi kesaksian.
Pengalaman inderawi langsung dan ingatan pribadi mengenai suatu peristiwa atau
fakta tertentu tidak selalu kita miliki. Akan tetapi, pengetahuan juga sering
kali kita peroleh dari kesaksian orang lain yang kita percayai.
Kendati kesaksian tidak
dapat memberi kepastian mutlak mengenai kebenaran isi kesaksiannya, namun
sebagai dasar dan sumber pengetahuan cara ini banyak ditempuh. Ilmu pengetahuan
seperti sejarah, hukum, dan agama secara metodologis banyak bersandar pada
kesaksian orang. Tentu saja dalam ilmu-ilmu tersebut, memperoleh jaminan
tentang kewenangan dan hal dapat dipercayainya sumber yang memberi kesaksian
secara metodologis menjadi amat penting.
4. Minat
dan Rasa Ingin Tahu.
Tidak semua pengalaman
berkembang menjadi pengetahuan, subjek yang mengalami sesuatu perlu memiliki
minat dan rasa ingin tahu tentang apa yang dialaminya. Maka, hal lain yang
mendasari adanya pengetahuan adalah adanya minat dan rasa ingin tahu manusia.
Minat mengarahkan perhatian terhadap hal-hal yang dialami dan dianggap penting
untuk diperhatikan. Ini berarti bahwa dalam kegiatan mengetahui sebenarnya
selalu termuat unsur penilaian. Orang akan meminati apa yang ia pandang
bernilai. Sedangkan rasa ingin tahu mendorong orang untuk bertanya dan melakukan
penyelidikan atas apa yang dialami dan menarik minatnya. Seperti dinyatakan
oleh Aristoteles dalam kalimat pembukaan dari bukunya Metafisika, pada dasarnya
“semua manusia ingin mengetahui”. Kenyataan ini terungkap dengan jelas misalnya
dalam gejala manusia sebagai makhluk bertanya.
5. Pikiran
dan Penalaran.
Untuk dapat memahami
dan menjelaskan apa yang dialami, manusia perlu melakukan kegiatan berpikir.
Kegiatan berpikir mengandaikan adanya pikiran. Pengalaman dan rasa ingin tahu
manusia sendiri sebenarnya sudah mengandaikan pikiran. Terdorong oleh rasa
ingin tahi, pikiran mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan
persoalan yang dihadapi. Kegiatan berpikir dalam arti luas memang lebih dari
sekedar bernalar. Tetapi kegiatan pokok pikiran dalam mencari pengetahuan
adalah penalaran. Maka, pikiran dan penalaran merupakan hal yang mendasari dan
memungkinkan pengetahuan. Tanpa pikiran dan penalaran tak mungkin ada pengetahuan.
Penalaran sendiri merupakan proses bagaiman pikiran menarik kesimpulan dari
hal-hal yang sebelumnya diketahui. Penalaran bisa berbentuk induksi, deduksi
maupun abduksi.
Induksi adalah proses
penalaran untuk menarik kesimpulan umum(universal) dari pelbagai kejadian atau
kasus khusus (partikular). Deduksi adalah bentuk penalaran yang berangkat dari
suatu pernyataan atau hukum umum ke kejadian khusus yang secara niscaya dapat
diturunkan dari pernyataan atau hukum umum tersebut. Dan Abduksi adalah penalaran
untuk merumuskan sebuah hipotesis berupa pernyataan umum yang kemungkinan
kebenarannya masih perlu di uji coba.
6. Logika.
Logika adalah sarana
berpikir sistematis, benar dan dapat dipertanggung jawabkan. Karena itu
berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan sistematika berpikir. Kata logika
dapat diartikan sebagai penalaran karena penalaran merupakan suatu proses
berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan
penalaran itu mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir itu harus
dilakukan dengan suatu cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan ini disebut
logika, dimana logika secara luas dan dapat didefinisikan sebagai pengkajian
untuk berpikir secara benar.
Terdapat dua cara
penarikan kesimpulan, yaitu :
a. Logika
Induktif.
Logika induktid erat
hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata
menjadi kesimpulan yang bersifat umum.
b. Logika
Deduktif.
Logika deduktif yaitu
logika yang membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum
menjadi kasus yang bersifat individual (khusus). Logika membantu manusia
berpikir lurus, efisien, tepat dan teratur mendapatkan kebenaran dan
menghindari kekeliruan.
7. Bahasa.
Selain logika, dalam
penalaran juga membutuhkan penggunaan bahasa. Maka bahasa juga merupakan salah
satu hal yang mendasari dan memungkinkan pengetahuan pada manusia. Bahasa
manusia tidak hanya berupa bahasa lisan, tetapi juga bahasa tertulis. Bahasa
tertulis adalah bahasa yang dituangkan dalam bentuk tulisan, misalnya dalam
buku, majalah, koran, dan sebagainya. Bahasa tertulis memiliki peran dalam
kehidupan manusia menemukan pengetahuan. Karena banyak sekali pengetahuan yang
terkandung didalam bahasa tertulis. Dengan berkembangnya bahasa tulusan,
ingatan manusia dilipat gandakan dan pemikiran serta kegiatan kreatif lain dari
manusia semakin ditingkatkan.
8. Kebutuhan
Hidup Manusia.
Dalam interaksinya dengan dunia dan
lingkungan sosial sekitarnya manusia membutuhkan pengetahuan. Maka, kebutuhan
hidup manusia dapat dikatakan juga merupakan suatu faktor yang mendasari dan
mendorong berkembangnya pengetahuan manusia. Sebagai sarana yang dibutuhkan
untuk hidup, bagi manusia, pengetahuan juga merupakan suatu alat, strategi, dan
kebijaksanaan manusia dalam berinteraksi dengan dunia dan lingkungan sosial
sekitarnya. Pengetahuan yang benar pada dasarnya dicari manusia untuk dapat
berinteraksi secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal.Filsafat Ilmu.Jakarta:Rajawali Pers,2010.
Sudarminta, J.Epistemologi Dasar.Yogyakarta:Kanisius,2002.
Surajiyo.Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia.Jakarta:Bumi Aksara,
2008.
www.edinasirun76.blogspot.com,
14/10/2013:11.04.
www.ismedinonu.ubb.ac.id,
14/10/2013:11.49.
Notes : Tugas Matakuliah Filsafat, Program Pascasarjana.
Komentar
Posting Komentar