Rangking Berapa Kamu?
Cerita yang sangat menginspirasi, semoga bermanfaat.....
"Ranking 29," Hani menjawab sambil lalu ketika Anto, kawan sekelasnya yang juga juara kelas, kawan sekelasnya yang diam-diam Hani menaruh hati padanya, bertanya rangking berapa kepada Hani. Ya, ranking 29 dari 42 anak termasuk sedang saja, tidak terlalu buruk tidak juga terlalu bagus.
Di situasi yang lain, "Ranking ke-3," jawab Andy acuh tak acuh, sambil mengunyah sepotong keripik kentang di meja, ketika ibu bertanya tentang rankingnya Andy. " Haa?? Pandainya anak ibu, ranking 3 nak..?" ibu dengan tangan masih bau bawang ingin mencium pipi Andy, namun Andy malu, sudah besar, sudah kelas enam.
"Aku juga ranking tiga, sama kayak kamu, Ndy, tapi… dari belakang…" teriak Bondan, kawan sekelas Andy yang terkenal sakit-sakitan terus, sakit hati, sakit gigi, sakit malas, sakit ngilu, sakit perut, pokoknya dalam seminggu pasti ada paling kurang dua kali sakit.
"Ranking berapa..?" pertanyaan yang begitu marak terdengar ketika musim pembagian raport. Dan biasanya semua orang tua sibuk menutupi, berjalan cepat-cepat, pura-pura ada kesibukan lain diluar ketika jam pengambilan raport, segera berlalu dari sekolah bila ranking anaknya menduduki peringkat paling bawah. Malu jika ada yang bertanya dan malu juga punya anak seperti yang menduduki peringkat terakhir. Siap-siap menahan amarah dan pikiran melayang, menyalahkan si anak, menyalahkan handphone yang keburu diberikan, menyalahkan laptop yang dimainkan si anak siang dan malam. Selain itu juga menyalahkan pemerintah yang membolehkan facebook dan twitter masuk Indonesia, menyalahkan suami yang tidak mau membantu mendidik anak, menyalahkan si anak yang keras kepala, malas belajar dan maunya main melulu. Setelah itu, terakhir menyalahkan gurunya karena dianggap tidak bisa mengajar.
Ketika sampai di rumah, sang anak mengelak dengan mengatakan, "aku sudah belajar sungguh-sungguh, soalnya saja yang terlalu susah, aku gak nyontek, kawan-kawanku dapat nilai bagus karena mereka menyontek.
Oh, mengapa ranking menjadi begitu bermasalah buat para orang tua. Sekedar kepuasan untuk mengetahui anaknya ada di peringkat yang mana atau untuk mengetahui anaknya dibandingkan dengan kawan-kawannya ada disebelah mana. Sungguh, ranking begitu menentukan harga diri seseorang bila terlalu dipikirkan. Padahal setiap anak memiliki kelebihan dan kehebatan masing-masing, bisa jadi dia buruk dari sisi pelajaran akademik namun menonjol dari sisi lain.
Lihat Bill Gates, kabarnya sekolah saja tidak selesai, namun sekarang menjadi orang yang termasuk terkaya di dunia. Tentulah dia memiliki kelebihan lain yang membuatnya bisa menjadi 'orang'. Namun tidak lulus sekolah dan menjadikan Bill Gates sebagai panutan juga tidak betul, karena sekolah adalah bagian dari learning process, menyelesaikan sekolah adalah bagian dari menyelesaikan sebuah masalah, belajar menghadapi masalah sampai akhir, sampai tuntas, suka maupun terpaksa.
Kita harus mengerti bahwa setiap anak berbeda. Ranking dalam pelajaran akademik tidaklah menentukan berhasil atau tidaknya si anak ketika sudah dewasa nanti. Marilah kita lihat sisi positif lain dari si anak, apakah kelebihannya betul-betul tidak ada..? pikirkan dan renungkanlah sebelum mengecam dengan kalimat, "apa yang bisa ibu banggakan darimu..?" Mungkin si anak tidak pandai matematika, namun coba lihat baik-baik isi raportnya, siapa tahu pelajaran art si anak dapat nilai paling tinggi, maka sisi itulah yang bisa dibanggakan atau pelajaran agama islam dapat nilai paling bagus karena si anak interest terhadap cerita-cerita nabi dan hanyut dalam cerita-cerita tersebut, sementara nilai yang lain maksimal 6 atau 7, oleh karena itu ada baiknya orang tua berbangga bahwa anaknya memiliki kemampuan dalam menghayati sebuah kisah. Baiknya kita lihat pelajaran yang nilainya lumayan bagus yang didapat si anak, olahraga kah ataukah IPS? maka hal itulah yang sebetulnya sesuatu yang dapat dibanggakan.
Bila pada akhirnya orang tua tidak menemukan nilai yang bagus sekalipun dalam raport sia anak, maka ingatlah bahwa mungkin si anak termasuk anak yang penurut. Jika si anak disuruh jangan main diluar ketika hujan, maka dia segera masuk rumah atau ketika kawannya ada yang merokok maka dia tidak merokok atau ketika kita sakit, dia bergegas memijat kaki kita atau ketika kita pulang kerja lelah, dia satu-satunya anak yang bergegas mengambil minuman.
Maka, hati-hatilah dengan kata-kata, "apa yang bisa ibu banggakan darimu..???," karena hal tersebut dapat membuat sang anak akan menjadi sedih dan merasa sebagai pribadi yang tidak berharga..
Fifi.P.Jubilea
Founder and Conceptor of JISc
"Ranking 29," Hani menjawab sambil lalu ketika Anto, kawan sekelasnya yang juga juara kelas, kawan sekelasnya yang diam-diam Hani menaruh hati padanya, bertanya rangking berapa kepada Hani. Ya, ranking 29 dari 42 anak termasuk sedang saja, tidak terlalu buruk tidak juga terlalu bagus.
Di situasi yang lain, "Ranking ke-3," jawab Andy acuh tak acuh, sambil mengunyah sepotong keripik kentang di meja, ketika ibu bertanya tentang rankingnya Andy. " Haa?? Pandainya anak ibu, ranking 3 nak..?" ibu dengan tangan masih bau bawang ingin mencium pipi Andy, namun Andy malu, sudah besar, sudah kelas enam.
"Aku juga ranking tiga, sama kayak kamu, Ndy, tapi… dari belakang…" teriak Bondan, kawan sekelas Andy yang terkenal sakit-sakitan terus, sakit hati, sakit gigi, sakit malas, sakit ngilu, sakit perut, pokoknya dalam seminggu pasti ada paling kurang dua kali sakit.
"Ranking berapa..?" pertanyaan yang begitu marak terdengar ketika musim pembagian raport. Dan biasanya semua orang tua sibuk menutupi, berjalan cepat-cepat, pura-pura ada kesibukan lain diluar ketika jam pengambilan raport, segera berlalu dari sekolah bila ranking anaknya menduduki peringkat paling bawah. Malu jika ada yang bertanya dan malu juga punya anak seperti yang menduduki peringkat terakhir. Siap-siap menahan amarah dan pikiran melayang, menyalahkan si anak, menyalahkan handphone yang keburu diberikan, menyalahkan laptop yang dimainkan si anak siang dan malam. Selain itu juga menyalahkan pemerintah yang membolehkan facebook dan twitter masuk Indonesia, menyalahkan suami yang tidak mau membantu mendidik anak, menyalahkan si anak yang keras kepala, malas belajar dan maunya main melulu. Setelah itu, terakhir menyalahkan gurunya karena dianggap tidak bisa mengajar.
Ketika sampai di rumah, sang anak mengelak dengan mengatakan, "aku sudah belajar sungguh-sungguh, soalnya saja yang terlalu susah, aku gak nyontek, kawan-kawanku dapat nilai bagus karena mereka menyontek.
Oh, mengapa ranking menjadi begitu bermasalah buat para orang tua. Sekedar kepuasan untuk mengetahui anaknya ada di peringkat yang mana atau untuk mengetahui anaknya dibandingkan dengan kawan-kawannya ada disebelah mana. Sungguh, ranking begitu menentukan harga diri seseorang bila terlalu dipikirkan. Padahal setiap anak memiliki kelebihan dan kehebatan masing-masing, bisa jadi dia buruk dari sisi pelajaran akademik namun menonjol dari sisi lain.
Lihat Bill Gates, kabarnya sekolah saja tidak selesai, namun sekarang menjadi orang yang termasuk terkaya di dunia. Tentulah dia memiliki kelebihan lain yang membuatnya bisa menjadi 'orang'. Namun tidak lulus sekolah dan menjadikan Bill Gates sebagai panutan juga tidak betul, karena sekolah adalah bagian dari learning process, menyelesaikan sekolah adalah bagian dari menyelesaikan sebuah masalah, belajar menghadapi masalah sampai akhir, sampai tuntas, suka maupun terpaksa.
Kita harus mengerti bahwa setiap anak berbeda. Ranking dalam pelajaran akademik tidaklah menentukan berhasil atau tidaknya si anak ketika sudah dewasa nanti. Marilah kita lihat sisi positif lain dari si anak, apakah kelebihannya betul-betul tidak ada..? pikirkan dan renungkanlah sebelum mengecam dengan kalimat, "apa yang bisa ibu banggakan darimu..?" Mungkin si anak tidak pandai matematika, namun coba lihat baik-baik isi raportnya, siapa tahu pelajaran art si anak dapat nilai paling tinggi, maka sisi itulah yang bisa dibanggakan atau pelajaran agama islam dapat nilai paling bagus karena si anak interest terhadap cerita-cerita nabi dan hanyut dalam cerita-cerita tersebut, sementara nilai yang lain maksimal 6 atau 7, oleh karena itu ada baiknya orang tua berbangga bahwa anaknya memiliki kemampuan dalam menghayati sebuah kisah. Baiknya kita lihat pelajaran yang nilainya lumayan bagus yang didapat si anak, olahraga kah ataukah IPS? maka hal itulah yang sebetulnya sesuatu yang dapat dibanggakan.
Bila pada akhirnya orang tua tidak menemukan nilai yang bagus sekalipun dalam raport sia anak, maka ingatlah bahwa mungkin si anak termasuk anak yang penurut. Jika si anak disuruh jangan main diluar ketika hujan, maka dia segera masuk rumah atau ketika kawannya ada yang merokok maka dia tidak merokok atau ketika kita sakit, dia bergegas memijat kaki kita atau ketika kita pulang kerja lelah, dia satu-satunya anak yang bergegas mengambil minuman.
Maka, hati-hatilah dengan kata-kata, "apa yang bisa ibu banggakan darimu..???," karena hal tersebut dapat membuat sang anak akan menjadi sedih dan merasa sebagai pribadi yang tidak berharga..
Fifi.P.Jubilea
Founder and Conceptor of JISc
Komentar
Posting Komentar